Entah mengapa karena saking asiknya kita bermain dengan segala hal yang dihadapan kita, secara tanpa sengaja timbul rasa kuasa.
Kuasa segala hal demi sebuah reputasi, yang berujung pada kekuasaan. Tidak munafik memang dengan segala kekuasaan, kaki mudah berinjak di mana-mana, mata mudah pelototi segala yang negatif menjadi positif, dan tangan menjulur menggapai apapun yang penting baik demi diri sendiri.
Hingga suatu ketika ada dua orang yang runtang-runtung kesana kemari, bahkan makan siang di saat jeda jam kantor pun mereka selalu bersama. Ruslan dan Herman, namanya. Mereka adalah dua pekerja di salah satu kantor media di
Jam dinding kantor menunjukkan pukul 12.00, saatnya para pegawai istirahat siang. “Yuk, enaknya kita langsung sarapan siang di tempat biasa,” ajak Ruslan pada Herman.
“Oke…Setuju, kebetulan perutku lapar sekali, dan aku ingin curhat padamu,” tukas Herman sembari memegang pundak Ruslan.
Makanan telah mereka pesan, Herman mulai membuka curhatannya, “Tahu nggak kalau pimpinan kita akan mengajak kita untuk garap sebuah media perusahaan terkenal?”
“Tahu,” jawab Ruslan.
Namun setelah itu dibatin Ruslan berkata, “padahal saya ingin mengambil inisiatif itu pada bos, agar dia mau saya saja yang dipercaya menggarapnya”.
Esoknya, Ruslan berangkat ke kantor lebih awal. “Kenapa kok nampaknya buru-buru ke kantornya?” tanya isteri Ruslan.
“Ya, pagi ini saya akan menghadap bos,” jawabnya sembari membelai rambut isteri kesayangannya.
Sesampai di kantor, Ruslan langsung menanyakan tentang proyek penggarapan media perusahaan pada bosnya. “Bagaimana pak peluang penggarapan proyek itu?” tanyanya.
“Keberhasilan peluangnya sangat besar, mungkin kamu yang akan saya beri tanggung jawab ini!” ucap bos pada Ruslan.
“Siap bos, yang penting anda percaya dengan kinerja saya pribadi, saya siap,” imbuh Ruslan.
“Apakah kamu tak perlu mengajak Herman, kawanmu itu,” kata bos.
“Tak perlu pak, Herman dalam hal ini bukan bidangnya, dan saya khawatir bila proyek ini sia-sia,” yakin Ruslan pada bosnya.
“Okelah, intinya kamu atur saja enaknya, dan jangan lupa hitung prosentase laba bagi perusahaan dan kamu yang bekerja,” saran bos pada Ruslan.
“Inilah kesempatan saya untuk meraup rupiah yang cukup lumayan,” gumamnya.
Keluar dari ruang pimpinan, Ruslan langsung disapa Herman. “
“Dipanggil bos diberi proyek untuk perusahaan,” jawabnya sambil mengalihkan langkah.
“Sialan proyek itu sudah direbutnya,” gerutu Herman.
Semenjak itulah, Herman mulai menjaga jarak dengan Ruslan, karena mengetahui niat busuk kawan dekat di kantornya selama ini, begitu pula sebaliknya.
Lagi-lagi polemik Ruslan dan Herman adalah contoh kecil yang bisa menjadi malapetaka hancurnya perkawanan. Semua jelas karena kuasa pada duit. Kawan pun menjadi lawan, dan itu terjadi di mana saja. xxxxx(m.ridlo’i)
No comments:
Post a Comment